Selasa, 26 Oktober 2010

SIAPAKAH ORANG NAGI-LARANTUKA ITU?


Oleh : Johan Suban Tukan

Apakah manusia Nagi sangat berbeda dari manusia lain? Bukankah lebih banyak kesamaannya? Lalu atas dasar apakah orang itu disebut orang Nagi? Apakah karena faktor sejarah? Karena faktor budaya? Karena faktor geografis? Karena memiliki filsafat hidup yang khas? Faktor agama? Ataukah memang pada dasarnya manusia itu unik, setiap manusia memang khas dan berbeda dari yang lain? Bukankah dua anak kembar pun masih berbeda? Tetapi mengapa orang berbicara tentang manusia Timur, manusia Indonesia, Manusia NTT, Manusia Flores?

Orang Nagi adalah MANUSIA. Sama seperti orang-orang lain, orang nagi adalah manusia, seorang manusia berakal budi. Orang nagi adalah animal rationale, untuk membedakan dirinya dengan dari seeokor binatang. Manusia Nagi menghayati dan memahami dirinya sebagai sebuah “misteri” dan oleh karena itu kita tidak bisa mempersoalkan dia hanya sebagai “problem”. Manusia nagi tidak bisa ditelusuri dari suatu kenyataan faktis semata-mata, seperti cendrung dilakukan oleh ilmu-ilmu empiris. Manusia nagi tidak hanya memiliki naluri seksual, tidak hanya memiliki naluri ekonomi, dan tidak hanya memiliki kehendak untuk berkuasa. Dalam diri manusia nagi ada kebebasan, cinta kasih dan kecemasan. Manusia Nagi lahir, hidup bersama dengan sesama dan akhirnya menghadapi kematian juga. Hanya manusia (nagi) dapat berbicara, berbadan dan berjiwa, mempunyai pengetahuan, dilengkapi dengan efektifitas, dapat mengerti dan memiliki kehendak yang bebas. Manusia Nagi adalah makhluk individual dan sosial.

Manusia Nagi tidak saja membutuhkan makan dan minum, sandang dan pangan, tetapi ia juga memerlukan kehangatan dan keakraban dalam pergaulan dengan sesama. Manusia Nagi bukan hanya sebuah robot yang berjalan secara otomatis, tetapi ia adalah seorang pribadi yang memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan dengan penuh tanggungjawab. Manusia adalah seorang pribadi yang tak pernah boleh diperlakukan sebagai benda, sebagai sarana. Manusia memiliki tujuan dalam dirinya. Manusia Nagi berusaha menyempurnakan dirinya dalam suatu proses budaya yang human. Manusia hanya dapat hidup sebagai manusia justru dalam suatu dunia manusia.

Orang Nagi adalah manusia Timur untuk membedakan (bukan memisahkan) ciri khas dirinya dari manusia barat. Manusia Timur sangat dipengaruhi oleh filsafat India, Budha dan China. Manusia Timur berpikir emosional, intuitif, mistis magis dan berfilsafat untuk mencapai kebijaksanaan hidup. Pribadi manusia Timur harus dipahami dalam kebersamaan. Sangat ditekankan sikap kompromi dan musyawarah karena dapat menciptakan kerukunan hidup. Pribadi manusia tenggelam dalam kebersamaan sosial. Sangat ditekankan hidup bersatu, saling tolong menolong dan gotong royong. Unsur terpenting dalam hidup manusia adalah ikatan kekeluargaan, kekerabatan, kenalan, tetangga dan suku.

Orang nagi adalah Manusia Indonesia. Salah satu ciri khas cara hidup orang Indonesia yang cukup menonjol gotong royong. “Ringan sama dijinjing berat sama dipikul.” Orang saling tolong menolong ketika kematian, perkawinan, membuka ladang, membangun rumah, dll. Manusia Indonesia sadar bahwa ia tidak tinggal sendirian di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh semesta dan masyarakat. Manusia saling tergantung satu sama lain. Manusia Indonesia sedapat mungkin untuk hidup serasi dan selaras didorong oleh perasaan sama tinggi sama rendah.

Sementara kitapun diingatkan dengan beberapa kecendrungan negative dari manusia Indonesia yang rupanya cukup menghambat proses pembangunan seperti : mentalitas yang meremehkan mutu, mentalitas suka menerabas (bernafsu untuk mencapai tujuan secepat-sepatnya tanpa kesediaan untuk berusaha selangkah demi selangkah); sifat tak percaya diri; tidak disiplin, dan mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab. Orang Indonesia cendrung membanggakan kejayaan masa lampau dan kurang berorientasi ke masa depan. Banyak orang Indonesia lebih merasa bangga bekerja sebagai pegawai negeri, dan bertingkah laku seperti priyayi. Mereka cendrung kurang mengharagai pekerjaan kasar. Mentalitas colonial masih dibawa terus. Lepas dari penjajahan Belanda dan Jepang, terkesan orang Indonesia menjajah orangnya sendiri. Birokrat bukannya pelayan masyarakat malahan menjadi tuan besar di daerahnya sendiri. Orang Indonesia masih kuat memiliki rasa ketergantungan pada tokoh atasan dan yang berpangkat.
Untuk dapat membangun , orang Indonesia harus memilki sikap aktif, bukan sikap pasif dan fatalistis. Orang harus berkeinginan menguasai alam dunia serta kaidah-kaidahnya tanpa merusak lingkungan hidup. Manusia Indonesia harus berorientasi ke masa depan. Untuk dapat berhasil, orang Indonesia harus mampu bekerja sama satu sama lain tanpa meremehkan kualitas individual dan tanpa menghindari tangjawab sendiri (Koentjaraningrat, Kebudayaan, mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1984)
Orang Nagi adalah manusia Nusa Tenggara Timur.

Kepribadian orang NTT tidak lepas dari tiga akar budaya yang melilitnya, yaitu akar Melayu, Portugis dan Belanda. Akar Melayu dapat dilihat dari unsur keserasian, keselarasan, kekeluargaan, kolektifismenya pun sangat kuat. Kerukunan merupakan ungkapan lahiriah. Daripada ribut lebih baik mengalah. Rukun selalu diusahkan agar terhindar dari konflik. Mereka pun selalu bermusawarah baik itu dalam keluarga sendiri, dalam suku dan dalam desa. Mereka juga saling tolong-menolong (bergotong royong). Dan dalam soal urusan adat, selalu diperhatikan hak anak sulung laki-laki yang diturun-temurunkan.

Kebudayaan merupakan sarana komunikasi bangsa Portugis dengan masyarakat setempat. Kabar gembira Yesus Kristus yang dibawa oleh orang Portugis tidaklah terlepas dari budaya mereka sendiri. Karena itu, perwujudan iman gereja zaman itu tidaklah terlepas dari budaya Portugis. Budaya Portugis dilatarbelakangi oleh budaya laut Tengah dimana lebih banyak menggunakan “HATI” . Sehingga dalam pengungkapan iman melalui ibadah, peran emosi sangat menonjol. Disini usur individu mulai menonjol.

Tidak sedikit orang NTT menggunakan nama portugis. Nama menunjukkan bahwa dalam sejarah ada pertalian batin antara orang NTT dengan orang Portugis. Di NTT menonjol karya-karya yang banyak menggunakan “hati”. Dalam hubungan dengan Tuhan, tidak terlepas ungkapan-ungkapan iman yang “irasional” dalam wujud devosi-devosi. Dengan demikian, nilai-nilai rohani lebih banyak ditekankan daripada nilai-nilai jasmani, sehingga ada dikotomi pandangan tentang hidup ini.

Belanda membawa budaya tertentu dalam menjajah orang di NTT. Kekuatan cultural Belanda namak dalam penekanan pada individu dengan hak-haknya. Masyarakat menjadi norma hidup yang kedua, yang terpenting AKU dengan kreativitas dan karya-karya yang efisien, produktif. Dalam bermasyarakat, etika Belanda bias Nampak dalam kekuatan-kekuatan individu yang mungkin “liberal”. Dalam arti ini, kepentingan pribadi mengatasi kepentingan umum.

Secara kultural, orang NTT itu tidak kuat karena budaya setempat itu didukung oleh satu massa manusia yang terlalu kecil. Dimana nilai-nilai budaya tak mengakar dan massa pendukungnya terlalu kecil, kita hanya hitung waktu saja bahwa budaya NTT mungkin akan lenyap dari persada ini. Dengan masuknya budaya dari luar dibarengi dengan tak ada pembinaan budaya setempat membuat orang NTT itu akan sangat tergantung pada budaya pinjaman. Turisme sebagai satu industry yang berkembang pesat akhir-akhir ini di NTT sudah merupakan satu pukulan budaya yang membuat kita terhempas dan terpental. (baca tulisan Ben Mboi dan Dr. Alex Paat Pr, dalam Buleting LK3I KWI, Mei-Juni 1992)

Orang Nagi adalah manusia Flores. Kebanyakan orang Flores bekerja sebagai petani. Mereka hidup dalam desa dekat dengan ladangnya. Mereka diikat oleh pengelolahan tanah bersama dan menjalin kekerabatan bersama. Mereka harus bekerja sama secara tetap agar dapat hidup dari hasil pertaniannya. Seorang petani harus menunggu hasil panen dengan sabar. Ia hidup dalam keadaan musim yang kurang pasti: bisa terjadi kemarau yang berkepanjangan, bisa terjadi curah hujan yang kurang, bias terjadi hama yang menggagalkan panen. Dengan alat pertanian yang sederhana ia harus berjuang.
Desa dihayati sebagai mikrokosmos, merupakan dunia kecil dari dunia yang lebih luas makrokosmos. Desa adalah tempat yang aman bagi para warganya. Orang merasa sangat terikat pada desanya. Sungguh dipentingkan kekeluargaan. Kepentingan umum mendahului kepentingan pribadi. Adat mengikat semua orang. Orang harus taat pada adat dan jika terjadi pelanggaran maka harus dibayar silih. Perasaan malu terasa sangat kuat. Ia harus terlibat dalam urusan perkawinan dan kematian. Ia menyiapkan kambing, babi, dan sarung untuk dibawa sebagai sumbangan dalam urusan adat.

Khususnya pada masyarakat Lamaholot, dalam perkawinan dikenal dengan adanya Suku opu lake (Suku yang menyerahkan wanita dan menerima belis), dan suku Opu Bine ( suku yang menyiapkan pria , member belis dan menerima gadis. Masyarakat Lamaholot mengenal system perkawinan Lika Telo. Suku “A” menjadi Opu Lake suku “B”. Suku “B” menjadi Opu Lake suku “C”. Suku “C” menjadi Opulake Suku “A”. Dan belis yang berupa gading berpindah tangan dari satu suku ke suku lain dalam lingkaran itu. (Y. Boelaars, Kepribadian Indonesia Modern, Suatu Penelitian Antropologi Budaya, Gramedia, Jakarta, 1984 dan Bernard Tukan, Keluarga Lamaholot, 1985).

Nah, orang Nagi Larantuka adalah manusia, adalah manusia Timur, adalah Manusia Indonesia, adalah ManusiaNTT, adalah manusia Flores, adalah manusia Lamaholot.

(Sumber dan Keterangan : ARTIKEL ini diringkas dari Buku “ Orang Nagi-Larantuka –Flores Timur : Sebuah Dialog Budaya hari Ini” , Penulis : Johan Suban Tukan ; Penerbit : YPPM, Jakarta 2001)

1 komentar:

  1. mantap....dulu saya pernah punya buku ini, beli di toko buku nusa indah katedral

    BalasHapus