Selasa, 26 Oktober 2010

Semana Santa di Kota Reinha


Oleh Steph Tupeng Witin
Sumber : Pos Kupang Selasa, 30 Maret 2010

Hakekat prosesi Semana Santa adalah dramatisasi alur kisah sengsara Kristus dari Getzemani menuju Kalvari. Narasi itu dihidupkan melalui medium pentasan dengan sederet adegan tambahan yang diharapkan menggugah iman. Makna yang menggugah iman inilah yang boleh jadi menggerakkan peziarah yang setiap tahun terus menyesaki kota kecil itu. Di Nagi (Kota Larantuka), peziarah mengalami kehadiran Kristus yang menyelamatkan dalam rahasia Paskah sebagai konsekuensi dari perutusan untuk menyelamatkan manusia.

Salah satu patung yang menjadi fokus perhatian dan devosi peziarah adalah patung Tuan Ma yang sesungguhnya adalah patung Bunda Berdukacita. Menurut narasi legenda, patung ini terdampar di suatu tempat di pantai Larantuka sekitar 500 tahun silam. Rentang waktu ini menjadi dasar perayaan 5 abad Tuan Ma tahun ini. Perayaan ini melibatkan seluruh Keuskupan Larantuka meski kenyataan menampakkan bahwa Tuan Ma dan devosi Semana Santa ini 'milik' orang Larantuka. Tuan Ma hanya tampak pada prosesi Jumat Agung dan selanjutnya kembali ke kapela. Misterius, memang. Tapi itulah iman. Dia butuh cuma keyakinan ditambah sedikit rasionalitas sejarah. Keyakinan itu telah tumbuh dalam benak dan kesadaran orang-orang Larantuka. Kesadaran itu mengkristal di bawah lingkupan Ile Mandiri yang sebagai saksi yang alami dan sederhana. Sesederhana orang-orang 'belakang guno' (istilah sindiran orang Kota Larantuka terhadap kelompok perkampungan di balik Ile Mandiri) yang telaten, sabar, ulet, tekun dan sederhana hidup bersama alam.

Patung itu secara sempurna mengkristalisasi sosok seorang ibu yang penuh derita yang segera mengundang rasa duka dan ikut menderita dari ribuan devoter domestik dan luar negeri dalam beragam ekspresi: tangisan, air mata, kesedihan mendalam dan keheningan. Meski demikian, Tuan Ma harus ditempatkan dalam konteks sengsara Kristus. Bunda berduka karena anaknya mengalami sengsara dan kekejian yang hebat untuk kemaslahatan manusia. Maka fokus utama prosesi Semana Santa mestinya pada Kristus, bukan pada Tuan Ma/Bunda Berdukacita. Refleksi ini mesti menggugah peziarah untuk merenungkan makna universal sengsara dan korban Kristus demi keselamatan dunia. Maka, lautan lilin bernyala di tangan para peziarah yang menghiasi keelokan Larantuka pada malam prosesi Jumat Agung itu mengungkapkan solidaritas dukacita agung seluruh umat manusia bersama Bunda Maria yang tengah meratapi kematian Yesus, Anaknya.

Solidaritas dukacita ini adalah inspirasi rahasia Paskah yang mesti menggerakkan semua peziarah, khususnya umat di Kota Larantuka untuk lebih peka dan tanggap dalam membaca tanda-tanda zaman situasi sosial politik di sekitarnya. Artinya, penghayatan hidup keagamaan dan religiositas Semana Santa yang telah sangat tua itu mesti menjadi sesuatu yang hidup, bernyawa, berenergi bagi konteks kehidupan dan kemanusiaan saat ini.


Kota Renya

Fenomena menarik yang layak direfleksikan adalah bahwa meski prosesi Semana Santa memiliki daya tarik rohaniah dan pariwisata yang dahsyat, Larantuka bukan kota Tuan Ma melainkan Kota Renya (Rozari). Mengapa? Fakta menarasikan bahwa devosi kepada Maria terasa kuat hidup dan mengaliri denyut nadi umat Keuskupan Larantuka.

Sejarah menulis, pewartaan iman di wilayah ini dilakukan oleh para pewarta yang memboncengi armada dagang Portugis. Di tempat kapal berlabuh, sambil menunggui para pedagang berbisnis, mereka mengajarkan agama dan mempermandikan orang. Gereja bertumbuh dengan aman karena para saudagar hadir dengan armada militeristiknya yang kuat kuasa. Tetapi situasi berubah ketika Portugis terusir dalam perang melawan kekuatan kerajaan Islam. Umat ditinggal sendirian dalam rentang waktu yang panjang.

Tetapi iman tidak pernah mati. Ketika para pewarta datang lagi, mereka menemukan bahwa iman itu tetap segar-mekar. Menggembirakan sekaligus mengherankan. Umat masih tetap dan tahu berdoa rosario. Kepercayaan ini menjadi kekuatan yang menghidupkan. Iman tetap kokoh berkat perlindungan Bunda Maria. Keyakinan akan perlindungan Bunda Maria dalam sejarah telah menggerakkan raja Kota Larantuka untuk menyerahkan tongkat kerajaan kepada Bunda Maria yang diletakkan di tangan patung Maria Ratu Rosario.

Ketika PD II yang berimbas pada Flores, para misionaris Belanda ditawan. Sekali lagi, umat ditinggal pergi oleh para gembala. Di Keuskupan Larantuka ditempatkan seorang imam muda yang baru ditahbiskan yaitu Pater Gabriel Manek, SVD. Ia sendirian berziarah melayani seluruh umat. Dia tentu mengalami kisah mengesankan dari kesaksian pelayanannya, terutama ketika umat mesti kehilangan gembala.

Ketika terpilih menjadi Vikaris Apostolik Keuskupan Larantuka, dia memilih motto: "Maria Protegente" (Dengan Perlindungan Maria) yang merefleksikan peran Maria dalam sejarah kehidupan iman umat. Keyakinan ini begitu kuat di kalangan umat sehingga secara resmi Vikariat Apostolik ini diserahkan kepada Bunda Maria Ratu Rosario. Uskup Manek juga mendirikan tarekat suster pribumi di Vikariat ini dengan nama: Puteri Renya Rosari (PRR).

Apa makna 500 tahun Semana Santa dan Devosi kepada Maria? Pertama, Maria berduka karena sengsara anaknya. Artinya, Kristus adalah sentrum. Duka Maria bukan duka sentimentil melainkan duka solidaritas terhadap nilai korban sengsara anaknya demi keselamatan manusia. Duka Maria adalah gugatan terhadap kita yang kadang hanya mampu selesai dengan menangisi derita sesama kita tetapi kehilangan implementasi kemanusiaan dalam bahasa solidaritas. Mestinya, Semana Santa menjadi duka sosial bagi semua peziarah untuk menyegarkan, realitas pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, politik dan kemanusiaan di keuskupan dan Kota Larantuka yang terpuruk. Gereja juga mesti lebih peka membaca tanda-tanda zaman realitas sosial dan politik sebagai medan pastoral yang menantang dan menggugah iman dan tidak sebatas terhenti pada 'menangisi' derita umat melalui kotbah, nyanyian dan narasi religiositas yang asing dengan realitas.

Kedua, momen 500 tahun Semana Santa mesti menjadi ruang refleksi kritis bagi sejarah perjalanan Gereja Keuskupan Larantuka, terutama dalam masa kepemimpinan lokal saat ini. Apakah gereja sungguh-sungguh menjadi ruang bagi segenap klerus dan umat berpartisipasi secara aktif dalam proses pemberdayaan dan pembangunan jati diri? Sejak tahun 1970-an, Gereja Keuskupan Larantuka dikenal sebagai gereja komunitas basis yang mandiri. Di manakah posisi kemandirian Gereja Keuskupan Larantuka saat ini, terutama ketika nilai-nilai transparansi kebijakan, demokrasi dan keterlibatan sosial politik menjadi medan pastoral baru yang menantang gereja dalam merespons realitas aktual yang menuntut keputusan dan keterlibatan profetis? Gereja tanggap? Atau cukup di altar dan doa gabungan saja?

Ketiga, Keuskupan Larantuka bernaung di bawah lindungan Bunda Maria yang menurut catatan Kitab Suci, amat peka dengan realitas dan konteks (perkawinan di Kana). Maria adalah inspirasi segar bagi refleksi perjalanan Gereja Keuskupan Larantuka di masa yang akan datang. Gereja mesti menjadi seperti Maria yang tanggap dengan suara orang-orang kecil, yang boleh jadi asing dari tatapan hati sesama. Orang-orang kecil-sederhana inilah yang semestinya menjadi hati gereja. Bukan hanya sebatas kaum berkuasa dan berpunya, meski itu juga perlu. Orang-orang inilah yang gelisah di tengah arus perubahan zaman yang membawa implikasi sosial, politik, ekonomi dan budaya baru yang kian tak menentu. Gereja mesti menjadi suara, telinga, tangan, kaki dan hati mereka. Seperti Maria yang peka dan Kristus yang solider melalui jalan salib derita. Mestinya, gereja tidak memiliki argumen untuk tidak menjadi voice of the voiceless.

Semoga momen 500 tahun Semana Santa menjadi awal kebangkitan baru religiositas yang lebih kontekstual, realistis, peka, solider tetapi tetap kritis dengan inspirasi Injil. *



Penulis buku "Seperti Rajawali, Ziarah Pembebasan Uskup Darius Nggawa, SVD" Penerbit Ledalero 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar