Selasa, 26 Oktober 2010

Aku Terkenang Larantuka


Sebuah Catatan Lepas


Oleh Benjamin Tukan

Aku terkenang Larantuka selalu menyodorkan dua kemungkinan. Pertama, Larantuka sebagai sebagai sebuah kota yang punya sejarah dan tradisi yang panjang. Sebelum kedatangan bangsa-bangsa barat di nusantara termasuk di Larantuka, tempat ini sudah menjadi tempat tempat pertemuan berbagai suku-suku di Nusantara. Kehidupan masyarakat yang masih primitif kala itu perlahan mulai menata diri dalam organisasi termasuk menata kehidupan sosial dalam bentuk kerajaan dan kelompok suku.

Pengaruh dari luar terutama kerajaan-kerajaan nusantara kemudian bangsa portugis, Belanda dan Jepang, sedikit banyak telah memberikan daya hidup baru juga pembentukan masyarakat baru. Dengan menjadikan Larantuka tempat persinggahan para pedangang yang meramaikan nusantara, sedikit banyak dapat mengugah minat kita akan perjalanan kota-kota tempo dulu. Akankah, peninggalan yang masih tersisa termasuk peninggalan misi Katolik abad pertengahan dapat memberikan inspirasi untuk berselancar dalam sejarah masa silam?

Dengan menyorot persoalan semacam ini, tentu kita bisa segera tergugah untuk memberikan perhatian kembali pada kota ini dan wilayah sekitarnya. Kalau kini Larantuka dikenal sebagai tempat melangsungkan perziarahan umat Katolik, maka kurang lebih informasi semacam ini semakin menambah daya pikat siapa saja untuk berkunjung ke Larantuka. Dengan jalan ini, maka orang akan segera tahu, kemudian datang dan mempelajari sesuatu yang menarik untuk dikembangkan pada konteks yang lebih luas lagi.

Kedua, mengenang Larantukaselalu mengingatkan pada warganya juga warga Lamaholot umumnya saat ini perlu ada kesiapan untuk menata diri dalam dunia yang terus berubah. Dengan membuka kembali perbincangan tentang kota Larantuka, kiranya masyarakat dapat mulai lagi usaha memikirkan hal yang dapat dikerjakan hari ini dan ke depan. Dalam maksud ini, maka dapat diungkapkan bahwa sebuah masyarakat tanpa sejarah kota akan kehilangan orientasi. Kota bagaimanapun harus ditata, karena dari situ orang bisa dengan leluasa memikirkan tentang masa depannya.

Dalam konteks lain, penataan sebuah kota pada gilirannya harus sampai menjadikan kota sebuah rumah bersama. Apa yang dimaksud “rumah bersama”, tidak lain adalah sebuah tempat yang tidak terus-terusan diklaim hanya milik sekelompok orang (homongen), tapi juga dimiliki oleh siapa saja yang datang dan mendiami kota ini (heterogen). Rumah bersama menempatkan adanya dialog antar agama, simbol pluralitas dan kemajemukan.

Kita tidak perlu terlalu jauh membandingkan dengan kota-kota yang terlampau jauh berkembang, namun perlu dipelajari bahwa runtuhnya kota-kota masa prakolonial, disebabkan karena kota tersebut bergerak menjadi pusat segalanya, justru tidak lagi mampu mengakomodir masyarakat lain dalam wilayah tersebut. Sejarah pada akhirnya hanya ditentukan oleh mereka yang kebetulan menjadi elit dalam masyarakat yang bersangkutan. Inilah masalah yang barangkali ada di depan mata kita pada hari-hari ini, ketika kota Larantuka menjadi kerinduan semua pihak untuk ditata.

Jika mau disinggung sedikit persoalan otonomi daerah yang kini telah menjadi bahasa keseharian masyarakat, dapat diungkapkan bahwa resisistensi masyarakat sebuah kabupaten terhadap ibukota kabupaten misalnya, bermula dari klaim-klaim warga kota yang sebenarnya tidak semestinya. Kota menampilkan latar ”glamournya” sendiri sambil mengabaikan nilai-nilai tradisi dalam kearifan lokal masyarakat sekitarnya. Akibatnya, semuanya menjadi stagnan, kota menjadi mati, dan hanya berharap pada tetesan kebaikan pada keputusan politik semata.

Aku terkenang Larantuka lalu mau menyatu dalam suatu pandangan baru yakni, bagaimana orang membangun masa depan dengan tidak meninggalkan kearifan yang tumbuh dalam masyarakat sendiri. Juga bukan sebaliknya, orang mengelus-elus masa lampau, sampai lupa mau dibawa kemana semua yang sedang terjadi. Hidup menjadi sekedar hari ini.
Inipulah yang menjadi diskusi yang berkepanjangan karena disanalah suatu contoh soal sebuah kota tradisonal yang dulunya menjadi perhatian, kemudian oleh sejarah yang terputus-putus, kemudian kota itu hanya sekedar sebuah ibukota kabupaten tempat sebuah birokrasi pemerintahan kabupaten berpusat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar