Selasa, 26 Oktober 2010

Membaca Kembali Kerajaan Larantuka


Sebuah Catatan Lepas

Oleh : Benjamin Tukan



Setiap kali membicarakan tentang Larantuka, orang selalu mengkaitkan dengan kerajaan tempo dulu yakni kerajaan Larantuka. Bukan tanpa sebab, ceritra kerajaan Larantuka memiliki arti tersendiri baik mengukur umur sejarah masyarakatnya, maupun tentang peran kerajaan membentuk tradisi dari kota ini.

Kerajaan Larantuka dipimpin oleh seorang raja yang merupakan keturunan dari suku asli wilayah ini atau tepatnya di Gunung Ile Mandiri. Menurut tutur lisan masyarakat setempat, leluhur dari raja Larantuka adalah Wato Wele yang berasal dari Gunung Ile Mandiri dengan seorang pendatang Pati Golo Arakian. Mereka menurunkan raja Larantuka, disamping beberapa suku lainnya.

Kerajaan Larantuka dulunya bernama Lewonama. Seperti kerajaan yang umumnya yang mumulai aktivitasnya dari muara sungai, teluk, ataupun pantai, kerjaaan Larantuka pun demikian. Dari kota Larantuka yang berada dipinggir Pantai itulah, raja membangun pemerintahanannya sekaligus membangun pertahanan dan strategi berhubungan dengan dunia luar kerajaan.

Kerajaan Larantuka adalah sebuah kerajaan kecil tidak seperti kerajaan di Jawa seperti Majapahit, demak dan Mataram. Tidak seperti di Sumatera yakni kerajaan Sriwijaya dan Samudera Pasai. Bahkan untuk kerajaan Gowa di sulaweisi, Kerajaan Bima di Mataram, kerajaan Ternate dan tidore, kerajaan Larantuka masih tergolong sangat kecil baik luas wilayah, maupun kebudayaan yang membentuknya.

Kerajaan Larantuka yang awalnya bernama kerajaan Lewonama merupakan kerajaan yang termasuk tua usianya. Kendati tidak banyak disinggung dalam sejarah nusantara maupun sejarah Indonesia modern, dari karangan Dr. Setia Budi (Douwes Dekker) dan P.L. Rijkerversel SJ, telah menyebutkan sejak abad 14-15 kerajaan ini sudah berada dibawah pengaruh kerajaan Majapahit ketika itu. Dari struktur pemerintahan yang juga masih ada hingga saat inipun semakin meyakinkan bahwa kerajaan ini memang mendapat pengaruh dari pengaruh keraan besar Majapahit.

Apa artinya menyebutkan karajaan Larantuka mendapat pengaruh dari kerajaan Majapahit? Tiga hal rupanya mau ingin disampaikan yakni pertama, umur kerajaan ini dapat diperkirakan lebih dulu ada sebelum masuknya kerjaaan Majapahit. Dalam rentang sejarah ini, orang bisa tahu tentang kehidupan masyarakat agraris yang berhubungan dengan tanah dan sangpencipta sekaligus organisasi (kerjaaan) menjadi perekat satu dengan yang lain.

Kedua, dapat saja dikatakan pengelompokan masyarakat yang terstrukur telah dikenal lama sekaligus pengaruh keluar dan ke dalam kerajaan telah membentuk masyarakat kerjaaan ini. Penting untuk diingat bahwa dengan pola hubungan kerajaan tempo dulu, masyarakat didalamnnya pun dapat saja dikatakan sebagai masyarakat terbuka, sekaligus telah mengenal peradaban lain diluar kerajaan.

Pengaruh ini menyebabkan struktur pemerintahan kerajaaan ini, menyerupai struktur pemerintahan kerajaan-kerjaaan di Jawa teristimewa kerjaaan Majapahit, terdiri dari Raja, Pou Suku Lema dan Kakang Lewo Pulo. Dalam strukutur pemerintahan yang dimaksud, raja dibantu oleh Pou Suku Lema (empu) sesuphnya yang sering dijuluki pou suku lema, atau empu kerjaaan. Di setiap wilayah di dalam kerajaan, raja selalu mengangkat pembantunya yang sering disebut Kakang Lewo Pulo (sesepuh/raja-raja kecil). Raja adalah tokoh sentral yang dianggap keturunan langsung dari Ile Mandiri, dinamakan trurunan ”Ile Jadi”. Pou Suku Lema merupakan Pou atau Pu atau ”empu” yang lima.

Para pou mempunyai pernanan yang penting dalam pemerintahan dan adat, karena itu memeiliki pengaruh yang amat kuat dalam politik pemerintahan dan adat. Pou merupakan dewan mahkota yang memegang peranan sebagai penasehat raja, sekaligus menjalankan tugas-tugas eksekutif dan legislatif. Poulah yang berwenang memilih dan menentapkan raja karena mereka memiliki garis keturunan yang sama dengan raja.

Jika pola penaklukan kekuasaan Majapahit dilihat sekedar perluasan kekuasaan semata tanpa secara intens menguasai wilayah penaklukannnya, maka demikian pula dengan kerjaaan Larantuka. Kerajaan ini tetaplah otonom dengan tipe kekuasaan yang kosentrik. Dalam perkembangan kemudian dari kerjaaan ini, wilayah sekitar tempat tinggal raja adalah wilayah yang penting dan utama. Diluar itu dari segi politik kurang penting, tapi dari segi ekonomi bisa menjadi asset untuk sekali-sekali memasok bahan pangan buat kerajaan.

Raja Larantuka bertakta di sing asana Kota Larantuka, dan memiliki kekuasaan pada sebagian wilayah yang kini menjadi Kabupaten Flores Timur dan Lembata. Sementara sebagian wilayah yang lain, yang kini menjadi wilayah Kabupaten Flores Timur dan Lembata merupakan wilayah dari beberapa kerajaan kecil lainnya diantaranya kerajaan Terong, kerajaaan Lamahala, kerajaaan Adonara dan kerajaaan Lamakera.

Sementara Pou yang lima itu terdiri dari Pou Kampung Besar Waibalun, Pou Kampung Besar Larantuka, Pou Kampung Besar Balela, Pou Kapung Besar Lewerang, dan Pou Kampung Besar Lebao/Tabali. Dalam perkembangan kemudian, Pou Kampung Besar Lewerang diganti dengan Pou Lewolere, dan ditambahkan lagi dua Po , yakni Pou Wureh dan Pou Konga, dinamakan Pou Obligado atau Pou Pengganti /tambahan. Para kakang Lewopulo atau sesepuh Kakang/kakangan masing-masing bersifat otnmom. Namun mereka sumua takluk kepada raja besar, Raja Larantuka dan Raja Ile Mandiri dan diharuskan menghanta upeti kepada raja mereka sebagai tanda takluk.

Wilayah kekakangan dalam wilayah kerajaan Larantuka terdiri dari : di Flores Timur Daratan : Kakang Mudakeputu, Kakang Wolo, Kakang Lewotobi dan Kakang Lewoingu; di Solor : Kakang Pemakayo dan kakang Lewolein; di Lembata : kakang Lewoleba dan Kakang Lamalera dan di Adonara: kakang Horohura dan Kakang Tanah Boleng. Terdapat pula dua kakang yang mempunyai tugas khusus, yakni kakang Lewotala disebut Kakang Ape-Dapo dan Kakang Kiwangona disebut Kakang Lango One.

Runtuhnya kerjaaan Majapahit berpengaruh besar bagi kerjaaan ini. Sebagaimana diketahui, keruntuhan majapahit membuka arus perdagangan nusantara yang sedikit banyak mempengaruhi kerjaaan Larntuka. Larantuka mulai diserbu pelayaran-pelayaran yang meramikan perdagangan kala itu. Selain hasil-hasil bumi yang dipertukaran dengan barang-barang berharga lainnya, persedian makanan dan keteduhan laut memnyebabkan beberapa kapal dagang berlabuh menunggu berakhirnya badai laut karena letaknnya yang strategis di dalam teluk.

Kerajaan Larantuka juga kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya, sejak dulu telah mendapat pengaruh dari Hindu-Budha dari India Belakang yang diikuti pengaruh Islam dari Gujarat dan Persia. Akibatnya, kerajaan-karajaan nusantara pun seperti kerajaan majapahit, kerajaaan Gowa dan Bima cukup membawa pengaruh pada kerajaan-kerajaan di wilayah ini.

Ketiga, Namun, ada yang terlupakan dari pembicaraan tentang besar kecilnya sebuah kerajaan adalah tradisi yang diwariskan dan keunikan dari kekuasaan yang dipegang oleh raja. Semenjak masuknya Portugis, Raja Larantuka dipermandikan menjadi Katolik dan menggunakan nama Diaz Vieyra de Godinho atau disingkat DVG. DVG dalam bahasa portugis diartikan sebagai pelayan tuhan. Dimana raja dalam memerintah selalu membawakan amanat untuk melayani tuhan. Ketika raja Larantuka Raja Ola Ado Bala yang dipermandikan menjadi Katolik pada 1645 dengan nama Don Fransisco (Don Constantino) menyerahkan tongkat kerajaannnya kepada Bunda Maria. Sejak saat itu Maria diakui sebagai Reinha (Ratu) dari Kerajaan Larantuka.

Cerita inipun berulang, Ketika Don Lorenzo DVG (Raja Usi II) pada 1887 menjadi raja Larantuka, ia menyerahkan lagi tongkat kerajaan untuk kedua kalinya dalam suatu upacara penyerahan kota dan kerajaan Larantuka 8 September 1887.

Kedudukan raja sebagai pemimpin agama, menampak dari pimpinan confreria. Raja memiliki kedudukan dan jabatan tertinggi dalam konfreria. Kalau ada suatu masa dimana Larantuka ditinggalkan para paderi, dan peran confreria sangat menonjol, sebenarnya mau mengatakan bahwa umat katolik ketika itu langsung dibawa komando Raja Larantuka.

Selama ketidakhadiran para imam kala itu, confreria merupakan lembaga religius terpenting di kerajaan itu. Raja sendiri menjadi ketuanya. Anggotanya adalah dipilih dari kalangan elit.

Hingga saat ini keturunan raja masih selalu dihormati lebih-lebih dalam urusan menyangkut agama tradisi dan dalam adat istiadat masyarakat setempat. Saat ini orang yang berkunjung ke Larantuka selalu menyempatkan waktu mengunjugi rumah kerajaan, bahkan menggali lebih jauh lagi tentang ceritra yang melingkupi sejarah kerajaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar