haribae
Selasa, 26 Oktober 2010
Membaca Kembali Kerajaan Larantuka
Sebuah Catatan Lepas
Oleh : Benjamin Tukan
Setiap kali membicarakan tentang Larantuka, orang selalu mengkaitkan dengan kerajaan tempo dulu yakni kerajaan Larantuka. Bukan tanpa sebab, ceritra kerajaan Larantuka memiliki arti tersendiri baik mengukur umur sejarah masyarakatnya, maupun tentang peran kerajaan membentuk tradisi dari kota ini.
Kerajaan Larantuka dipimpin oleh seorang raja yang merupakan keturunan dari suku asli wilayah ini atau tepatnya di Gunung Ile Mandiri. Menurut tutur lisan masyarakat setempat, leluhur dari raja Larantuka adalah Wato Wele yang berasal dari Gunung Ile Mandiri dengan seorang pendatang Pati Golo Arakian. Mereka menurunkan raja Larantuka, disamping beberapa suku lainnya.
Kerajaan Larantuka dulunya bernama Lewonama. Seperti kerajaan yang umumnya yang mumulai aktivitasnya dari muara sungai, teluk, ataupun pantai, kerjaaan Larantuka pun demikian. Dari kota Larantuka yang berada dipinggir Pantai itulah, raja membangun pemerintahanannya sekaligus membangun pertahanan dan strategi berhubungan dengan dunia luar kerajaan.
Kerajaan Larantuka adalah sebuah kerajaan kecil tidak seperti kerajaan di Jawa seperti Majapahit, demak dan Mataram. Tidak seperti di Sumatera yakni kerajaan Sriwijaya dan Samudera Pasai. Bahkan untuk kerajaan Gowa di sulaweisi, Kerajaan Bima di Mataram, kerajaan Ternate dan tidore, kerajaan Larantuka masih tergolong sangat kecil baik luas wilayah, maupun kebudayaan yang membentuknya.
Kerajaan Larantuka yang awalnya bernama kerajaan Lewonama merupakan kerajaan yang termasuk tua usianya. Kendati tidak banyak disinggung dalam sejarah nusantara maupun sejarah Indonesia modern, dari karangan Dr. Setia Budi (Douwes Dekker) dan P.L. Rijkerversel SJ, telah menyebutkan sejak abad 14-15 kerajaan ini sudah berada dibawah pengaruh kerajaan Majapahit ketika itu. Dari struktur pemerintahan yang juga masih ada hingga saat inipun semakin meyakinkan bahwa kerajaan ini memang mendapat pengaruh dari pengaruh keraan besar Majapahit.
Apa artinya menyebutkan karajaan Larantuka mendapat pengaruh dari kerajaan Majapahit? Tiga hal rupanya mau ingin disampaikan yakni pertama, umur kerajaan ini dapat diperkirakan lebih dulu ada sebelum masuknya kerjaaan Majapahit. Dalam rentang sejarah ini, orang bisa tahu tentang kehidupan masyarakat agraris yang berhubungan dengan tanah dan sangpencipta sekaligus organisasi (kerjaaan) menjadi perekat satu dengan yang lain.
Kedua, dapat saja dikatakan pengelompokan masyarakat yang terstrukur telah dikenal lama sekaligus pengaruh keluar dan ke dalam kerajaan telah membentuk masyarakat kerjaaan ini. Penting untuk diingat bahwa dengan pola hubungan kerajaan tempo dulu, masyarakat didalamnnya pun dapat saja dikatakan sebagai masyarakat terbuka, sekaligus telah mengenal peradaban lain diluar kerajaan.
Pengaruh ini menyebabkan struktur pemerintahan kerajaaan ini, menyerupai struktur pemerintahan kerajaan-kerjaaan di Jawa teristimewa kerjaaan Majapahit, terdiri dari Raja, Pou Suku Lema dan Kakang Lewo Pulo. Dalam strukutur pemerintahan yang dimaksud, raja dibantu oleh Pou Suku Lema (empu) sesuphnya yang sering dijuluki pou suku lema, atau empu kerjaaan. Di setiap wilayah di dalam kerajaan, raja selalu mengangkat pembantunya yang sering disebut Kakang Lewo Pulo (sesepuh/raja-raja kecil). Raja adalah tokoh sentral yang dianggap keturunan langsung dari Ile Mandiri, dinamakan trurunan ”Ile Jadi”. Pou Suku Lema merupakan Pou atau Pu atau ”empu” yang lima.
Para pou mempunyai pernanan yang penting dalam pemerintahan dan adat, karena itu memeiliki pengaruh yang amat kuat dalam politik pemerintahan dan adat. Pou merupakan dewan mahkota yang memegang peranan sebagai penasehat raja, sekaligus menjalankan tugas-tugas eksekutif dan legislatif. Poulah yang berwenang memilih dan menentapkan raja karena mereka memiliki garis keturunan yang sama dengan raja.
Jika pola penaklukan kekuasaan Majapahit dilihat sekedar perluasan kekuasaan semata tanpa secara intens menguasai wilayah penaklukannnya, maka demikian pula dengan kerjaaan Larantuka. Kerajaan ini tetaplah otonom dengan tipe kekuasaan yang kosentrik. Dalam perkembangan kemudian dari kerjaaan ini, wilayah sekitar tempat tinggal raja adalah wilayah yang penting dan utama. Diluar itu dari segi politik kurang penting, tapi dari segi ekonomi bisa menjadi asset untuk sekali-sekali memasok bahan pangan buat kerajaan.
Raja Larantuka bertakta di sing asana Kota Larantuka, dan memiliki kekuasaan pada sebagian wilayah yang kini menjadi Kabupaten Flores Timur dan Lembata. Sementara sebagian wilayah yang lain, yang kini menjadi wilayah Kabupaten Flores Timur dan Lembata merupakan wilayah dari beberapa kerajaan kecil lainnya diantaranya kerajaan Terong, kerajaaan Lamahala, kerajaaan Adonara dan kerajaaan Lamakera.
Sementara Pou yang lima itu terdiri dari Pou Kampung Besar Waibalun, Pou Kampung Besar Larantuka, Pou Kampung Besar Balela, Pou Kapung Besar Lewerang, dan Pou Kampung Besar Lebao/Tabali. Dalam perkembangan kemudian, Pou Kampung Besar Lewerang diganti dengan Pou Lewolere, dan ditambahkan lagi dua Po , yakni Pou Wureh dan Pou Konga, dinamakan Pou Obligado atau Pou Pengganti /tambahan. Para kakang Lewopulo atau sesepuh Kakang/kakangan masing-masing bersifat otnmom. Namun mereka sumua takluk kepada raja besar, Raja Larantuka dan Raja Ile Mandiri dan diharuskan menghanta upeti kepada raja mereka sebagai tanda takluk.
Wilayah kekakangan dalam wilayah kerajaan Larantuka terdiri dari : di Flores Timur Daratan : Kakang Mudakeputu, Kakang Wolo, Kakang Lewotobi dan Kakang Lewoingu; di Solor : Kakang Pemakayo dan kakang Lewolein; di Lembata : kakang Lewoleba dan Kakang Lamalera dan di Adonara: kakang Horohura dan Kakang Tanah Boleng. Terdapat pula dua kakang yang mempunyai tugas khusus, yakni kakang Lewotala disebut Kakang Ape-Dapo dan Kakang Kiwangona disebut Kakang Lango One.
Runtuhnya kerjaaan Majapahit berpengaruh besar bagi kerjaaan ini. Sebagaimana diketahui, keruntuhan majapahit membuka arus perdagangan nusantara yang sedikit banyak mempengaruhi kerjaaan Larntuka. Larantuka mulai diserbu pelayaran-pelayaran yang meramikan perdagangan kala itu. Selain hasil-hasil bumi yang dipertukaran dengan barang-barang berharga lainnya, persedian makanan dan keteduhan laut memnyebabkan beberapa kapal dagang berlabuh menunggu berakhirnya badai laut karena letaknnya yang strategis di dalam teluk.
Kerajaan Larantuka juga kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya, sejak dulu telah mendapat pengaruh dari Hindu-Budha dari India Belakang yang diikuti pengaruh Islam dari Gujarat dan Persia. Akibatnya, kerajaan-karajaan nusantara pun seperti kerajaan majapahit, kerajaaan Gowa dan Bima cukup membawa pengaruh pada kerajaan-kerajaan di wilayah ini.
Ketiga, Namun, ada yang terlupakan dari pembicaraan tentang besar kecilnya sebuah kerajaan adalah tradisi yang diwariskan dan keunikan dari kekuasaan yang dipegang oleh raja. Semenjak masuknya Portugis, Raja Larantuka dipermandikan menjadi Katolik dan menggunakan nama Diaz Vieyra de Godinho atau disingkat DVG. DVG dalam bahasa portugis diartikan sebagai pelayan tuhan. Dimana raja dalam memerintah selalu membawakan amanat untuk melayani tuhan. Ketika raja Larantuka Raja Ola Ado Bala yang dipermandikan menjadi Katolik pada 1645 dengan nama Don Fransisco (Don Constantino) menyerahkan tongkat kerajaannnya kepada Bunda Maria. Sejak saat itu Maria diakui sebagai Reinha (Ratu) dari Kerajaan Larantuka.
Cerita inipun berulang, Ketika Don Lorenzo DVG (Raja Usi II) pada 1887 menjadi raja Larantuka, ia menyerahkan lagi tongkat kerajaan untuk kedua kalinya dalam suatu upacara penyerahan kota dan kerajaan Larantuka 8 September 1887.
Kedudukan raja sebagai pemimpin agama, menampak dari pimpinan confreria. Raja memiliki kedudukan dan jabatan tertinggi dalam konfreria. Kalau ada suatu masa dimana Larantuka ditinggalkan para paderi, dan peran confreria sangat menonjol, sebenarnya mau mengatakan bahwa umat katolik ketika itu langsung dibawa komando Raja Larantuka.
Selama ketidakhadiran para imam kala itu, confreria merupakan lembaga religius terpenting di kerajaan itu. Raja sendiri menjadi ketuanya. Anggotanya adalah dipilih dari kalangan elit.
Hingga saat ini keturunan raja masih selalu dihormati lebih-lebih dalam urusan menyangkut agama tradisi dan dalam adat istiadat masyarakat setempat. Saat ini orang yang berkunjung ke Larantuka selalu menyempatkan waktu mengunjugi rumah kerajaan, bahkan menggali lebih jauh lagi tentang ceritra yang melingkupi sejarah kerajaan.
Semana Santa di Kota Reinha
Oleh Steph Tupeng Witin
Sumber : Pos Kupang Selasa, 30 Maret 2010
Hakekat prosesi Semana Santa adalah dramatisasi alur kisah sengsara Kristus dari Getzemani menuju Kalvari. Narasi itu dihidupkan melalui medium pentasan dengan sederet adegan tambahan yang diharapkan menggugah iman. Makna yang menggugah iman inilah yang boleh jadi menggerakkan peziarah yang setiap tahun terus menyesaki kota kecil itu. Di Nagi (Kota Larantuka), peziarah mengalami kehadiran Kristus yang menyelamatkan dalam rahasia Paskah sebagai konsekuensi dari perutusan untuk menyelamatkan manusia.
Salah satu patung yang menjadi fokus perhatian dan devosi peziarah adalah patung Tuan Ma yang sesungguhnya adalah patung Bunda Berdukacita. Menurut narasi legenda, patung ini terdampar di suatu tempat di pantai Larantuka sekitar 500 tahun silam. Rentang waktu ini menjadi dasar perayaan 5 abad Tuan Ma tahun ini. Perayaan ini melibatkan seluruh Keuskupan Larantuka meski kenyataan menampakkan bahwa Tuan Ma dan devosi Semana Santa ini 'milik' orang Larantuka. Tuan Ma hanya tampak pada prosesi Jumat Agung dan selanjutnya kembali ke kapela. Misterius, memang. Tapi itulah iman. Dia butuh cuma keyakinan ditambah sedikit rasionalitas sejarah. Keyakinan itu telah tumbuh dalam benak dan kesadaran orang-orang Larantuka. Kesadaran itu mengkristal di bawah lingkupan Ile Mandiri yang sebagai saksi yang alami dan sederhana. Sesederhana orang-orang 'belakang guno' (istilah sindiran orang Kota Larantuka terhadap kelompok perkampungan di balik Ile Mandiri) yang telaten, sabar, ulet, tekun dan sederhana hidup bersama alam.
Patung itu secara sempurna mengkristalisasi sosok seorang ibu yang penuh derita yang segera mengundang rasa duka dan ikut menderita dari ribuan devoter domestik dan luar negeri dalam beragam ekspresi: tangisan, air mata, kesedihan mendalam dan keheningan. Meski demikian, Tuan Ma harus ditempatkan dalam konteks sengsara Kristus. Bunda berduka karena anaknya mengalami sengsara dan kekejian yang hebat untuk kemaslahatan manusia. Maka fokus utama prosesi Semana Santa mestinya pada Kristus, bukan pada Tuan Ma/Bunda Berdukacita. Refleksi ini mesti menggugah peziarah untuk merenungkan makna universal sengsara dan korban Kristus demi keselamatan dunia. Maka, lautan lilin bernyala di tangan para peziarah yang menghiasi keelokan Larantuka pada malam prosesi Jumat Agung itu mengungkapkan solidaritas dukacita agung seluruh umat manusia bersama Bunda Maria yang tengah meratapi kematian Yesus, Anaknya.
Solidaritas dukacita ini adalah inspirasi rahasia Paskah yang mesti menggerakkan semua peziarah, khususnya umat di Kota Larantuka untuk lebih peka dan tanggap dalam membaca tanda-tanda zaman situasi sosial politik di sekitarnya. Artinya, penghayatan hidup keagamaan dan religiositas Semana Santa yang telah sangat tua itu mesti menjadi sesuatu yang hidup, bernyawa, berenergi bagi konteks kehidupan dan kemanusiaan saat ini.
Kota Renya
Fenomena menarik yang layak direfleksikan adalah bahwa meski prosesi Semana Santa memiliki daya tarik rohaniah dan pariwisata yang dahsyat, Larantuka bukan kota Tuan Ma melainkan Kota Renya (Rozari). Mengapa? Fakta menarasikan bahwa devosi kepada Maria terasa kuat hidup dan mengaliri denyut nadi umat Keuskupan Larantuka.
Sejarah menulis, pewartaan iman di wilayah ini dilakukan oleh para pewarta yang memboncengi armada dagang Portugis. Di tempat kapal berlabuh, sambil menunggui para pedagang berbisnis, mereka mengajarkan agama dan mempermandikan orang. Gereja bertumbuh dengan aman karena para saudagar hadir dengan armada militeristiknya yang kuat kuasa. Tetapi situasi berubah ketika Portugis terusir dalam perang melawan kekuatan kerajaan Islam. Umat ditinggal sendirian dalam rentang waktu yang panjang.
Tetapi iman tidak pernah mati. Ketika para pewarta datang lagi, mereka menemukan bahwa iman itu tetap segar-mekar. Menggembirakan sekaligus mengherankan. Umat masih tetap dan tahu berdoa rosario. Kepercayaan ini menjadi kekuatan yang menghidupkan. Iman tetap kokoh berkat perlindungan Bunda Maria. Keyakinan akan perlindungan Bunda Maria dalam sejarah telah menggerakkan raja Kota Larantuka untuk menyerahkan tongkat kerajaan kepada Bunda Maria yang diletakkan di tangan patung Maria Ratu Rosario.
Ketika PD II yang berimbas pada Flores, para misionaris Belanda ditawan. Sekali lagi, umat ditinggal pergi oleh para gembala. Di Keuskupan Larantuka ditempatkan seorang imam muda yang baru ditahbiskan yaitu Pater Gabriel Manek, SVD. Ia sendirian berziarah melayani seluruh umat. Dia tentu mengalami kisah mengesankan dari kesaksian pelayanannya, terutama ketika umat mesti kehilangan gembala.
Ketika terpilih menjadi Vikaris Apostolik Keuskupan Larantuka, dia memilih motto: "Maria Protegente" (Dengan Perlindungan Maria) yang merefleksikan peran Maria dalam sejarah kehidupan iman umat. Keyakinan ini begitu kuat di kalangan umat sehingga secara resmi Vikariat Apostolik ini diserahkan kepada Bunda Maria Ratu Rosario. Uskup Manek juga mendirikan tarekat suster pribumi di Vikariat ini dengan nama: Puteri Renya Rosari (PRR).
Apa makna 500 tahun Semana Santa dan Devosi kepada Maria? Pertama, Maria berduka karena sengsara anaknya. Artinya, Kristus adalah sentrum. Duka Maria bukan duka sentimentil melainkan duka solidaritas terhadap nilai korban sengsara anaknya demi keselamatan manusia. Duka Maria adalah gugatan terhadap kita yang kadang hanya mampu selesai dengan menangisi derita sesama kita tetapi kehilangan implementasi kemanusiaan dalam bahasa solidaritas. Mestinya, Semana Santa menjadi duka sosial bagi semua peziarah untuk menyegarkan, realitas pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, politik dan kemanusiaan di keuskupan dan Kota Larantuka yang terpuruk. Gereja juga mesti lebih peka membaca tanda-tanda zaman realitas sosial dan politik sebagai medan pastoral yang menantang dan menggugah iman dan tidak sebatas terhenti pada 'menangisi' derita umat melalui kotbah, nyanyian dan narasi religiositas yang asing dengan realitas.
Kedua, momen 500 tahun Semana Santa mesti menjadi ruang refleksi kritis bagi sejarah perjalanan Gereja Keuskupan Larantuka, terutama dalam masa kepemimpinan lokal saat ini. Apakah gereja sungguh-sungguh menjadi ruang bagi segenap klerus dan umat berpartisipasi secara aktif dalam proses pemberdayaan dan pembangunan jati diri? Sejak tahun 1970-an, Gereja Keuskupan Larantuka dikenal sebagai gereja komunitas basis yang mandiri. Di manakah posisi kemandirian Gereja Keuskupan Larantuka saat ini, terutama ketika nilai-nilai transparansi kebijakan, demokrasi dan keterlibatan sosial politik menjadi medan pastoral baru yang menantang gereja dalam merespons realitas aktual yang menuntut keputusan dan keterlibatan profetis? Gereja tanggap? Atau cukup di altar dan doa gabungan saja?
Ketiga, Keuskupan Larantuka bernaung di bawah lindungan Bunda Maria yang menurut catatan Kitab Suci, amat peka dengan realitas dan konteks (perkawinan di Kana). Maria adalah inspirasi segar bagi refleksi perjalanan Gereja Keuskupan Larantuka di masa yang akan datang. Gereja mesti menjadi seperti Maria yang tanggap dengan suara orang-orang kecil, yang boleh jadi asing dari tatapan hati sesama. Orang-orang kecil-sederhana inilah yang semestinya menjadi hati gereja. Bukan hanya sebatas kaum berkuasa dan berpunya, meski itu juga perlu. Orang-orang inilah yang gelisah di tengah arus perubahan zaman yang membawa implikasi sosial, politik, ekonomi dan budaya baru yang kian tak menentu. Gereja mesti menjadi suara, telinga, tangan, kaki dan hati mereka. Seperti Maria yang peka dan Kristus yang solider melalui jalan salib derita. Mestinya, gereja tidak memiliki argumen untuk tidak menjadi voice of the voiceless.
Semoga momen 500 tahun Semana Santa menjadi awal kebangkitan baru religiositas yang lebih kontekstual, realistis, peka, solider tetapi tetap kritis dengan inspirasi Injil. *
Penulis buku "Seperti Rajawali, Ziarah Pembebasan Uskup Darius Nggawa, SVD" Penerbit Ledalero 2008
Aku Terkenang Larantuka
Sebuah Catatan Lepas
Oleh Benjamin Tukan
Aku terkenang Larantuka selalu menyodorkan dua kemungkinan. Pertama, Larantuka sebagai sebagai sebuah kota yang punya sejarah dan tradisi yang panjang. Sebelum kedatangan bangsa-bangsa barat di nusantara termasuk di Larantuka, tempat ini sudah menjadi tempat tempat pertemuan berbagai suku-suku di Nusantara. Kehidupan masyarakat yang masih primitif kala itu perlahan mulai menata diri dalam organisasi termasuk menata kehidupan sosial dalam bentuk kerajaan dan kelompok suku.
Pengaruh dari luar terutama kerajaan-kerajaan nusantara kemudian bangsa portugis, Belanda dan Jepang, sedikit banyak telah memberikan daya hidup baru juga pembentukan masyarakat baru. Dengan menjadikan Larantuka tempat persinggahan para pedangang yang meramaikan nusantara, sedikit banyak dapat mengugah minat kita akan perjalanan kota-kota tempo dulu. Akankah, peninggalan yang masih tersisa termasuk peninggalan misi Katolik abad pertengahan dapat memberikan inspirasi untuk berselancar dalam sejarah masa silam?
Dengan menyorot persoalan semacam ini, tentu kita bisa segera tergugah untuk memberikan perhatian kembali pada kota ini dan wilayah sekitarnya. Kalau kini Larantuka dikenal sebagai tempat melangsungkan perziarahan umat Katolik, maka kurang lebih informasi semacam ini semakin menambah daya pikat siapa saja untuk berkunjung ke Larantuka. Dengan jalan ini, maka orang akan segera tahu, kemudian datang dan mempelajari sesuatu yang menarik untuk dikembangkan pada konteks yang lebih luas lagi.
Kedua, mengenang Larantukaselalu mengingatkan pada warganya juga warga Lamaholot umumnya saat ini perlu ada kesiapan untuk menata diri dalam dunia yang terus berubah. Dengan membuka kembali perbincangan tentang kota Larantuka, kiranya masyarakat dapat mulai lagi usaha memikirkan hal yang dapat dikerjakan hari ini dan ke depan. Dalam maksud ini, maka dapat diungkapkan bahwa sebuah masyarakat tanpa sejarah kota akan kehilangan orientasi. Kota bagaimanapun harus ditata, karena dari situ orang bisa dengan leluasa memikirkan tentang masa depannya.
Dalam konteks lain, penataan sebuah kota pada gilirannya harus sampai menjadikan kota sebuah rumah bersama. Apa yang dimaksud “rumah bersama”, tidak lain adalah sebuah tempat yang tidak terus-terusan diklaim hanya milik sekelompok orang (homongen), tapi juga dimiliki oleh siapa saja yang datang dan mendiami kota ini (heterogen). Rumah bersama menempatkan adanya dialog antar agama, simbol pluralitas dan kemajemukan.
Kita tidak perlu terlalu jauh membandingkan dengan kota-kota yang terlampau jauh berkembang, namun perlu dipelajari bahwa runtuhnya kota-kota masa prakolonial, disebabkan karena kota tersebut bergerak menjadi pusat segalanya, justru tidak lagi mampu mengakomodir masyarakat lain dalam wilayah tersebut. Sejarah pada akhirnya hanya ditentukan oleh mereka yang kebetulan menjadi elit dalam masyarakat yang bersangkutan. Inilah masalah yang barangkali ada di depan mata kita pada hari-hari ini, ketika kota Larantuka menjadi kerinduan semua pihak untuk ditata.
Jika mau disinggung sedikit persoalan otonomi daerah yang kini telah menjadi bahasa keseharian masyarakat, dapat diungkapkan bahwa resisistensi masyarakat sebuah kabupaten terhadap ibukota kabupaten misalnya, bermula dari klaim-klaim warga kota yang sebenarnya tidak semestinya. Kota menampilkan latar ”glamournya” sendiri sambil mengabaikan nilai-nilai tradisi dalam kearifan lokal masyarakat sekitarnya. Akibatnya, semuanya menjadi stagnan, kota menjadi mati, dan hanya berharap pada tetesan kebaikan pada keputusan politik semata.
Aku terkenang Larantuka lalu mau menyatu dalam suatu pandangan baru yakni, bagaimana orang membangun masa depan dengan tidak meninggalkan kearifan yang tumbuh dalam masyarakat sendiri. Juga bukan sebaliknya, orang mengelus-elus masa lampau, sampai lupa mau dibawa kemana semua yang sedang terjadi. Hidup menjadi sekedar hari ini.
Inipulah yang menjadi diskusi yang berkepanjangan karena disanalah suatu contoh soal sebuah kota tradisonal yang dulunya menjadi perhatian, kemudian oleh sejarah yang terputus-putus, kemudian kota itu hanya sekedar sebuah ibukota kabupaten tempat sebuah birokrasi pemerintahan kabupaten berpusat.
Pendidikan Kolong Pohong
Oleh Robert Bala
Sumber : Pos Kupang, Kamis, 20 Mei 2010
Saya hanya bisa terdiam. Tidak tahu, apakah pernyataan itu diungkapkan secara ikhlas atau sekadar basa-basi karena berharap masih ada sepatu yang bisa dijahit. Tetapi hidungku sempat kembang-kempis’ sambil berkata dalam hati: "moga-moga, ia tidak tahu hasil UN SMA dan SMP tahun 2010 di NTT. Saya pun yang termakan oleh pujian, merasa risih memberitahukan hasilnya.
Mengibuli otak
Ungkapan yang menyanjung, tentu bukan kali ini saja terdengar. Kehebatan putera-puteri terbaik NTT yang pernah menghiasi peta sosial politik Indonesia sudah bukan rahasia lagi. Ada Gorys Keraf, pakar linguistik, Adrianus Mooy, pakar ekonomi perbankan, Frans Seda, tokoh gigih, sekadar menyebut tiga contoh.
Pertanyaannya: mengapa dari daerah yang tandus, kering kerontang seperti NTT itu bisa lahir tokoh sekaliber itu? Apakah mereka memang 'dari sononya' cerdas? Yang pasti, tidak ada orang yang terlahir sebagai genius. Si Alva Edison sendiri mengatakan secara jelas: Genius is one percent inspiration, ninety-nine percent perspiration. Sembilan puluh sembilan persen adalah usaha sementara keterberian’ hanya 1 %.
Kalau demikian, keberhasilan itu dicapai karena sukses memanipulasi pikiran’. Artinya, pikiran secara terus menerus diarahkan untuk (bisa) melakukan hal-hal yang besar. Mereka mengulang dalam diri kemauan positif. Tekad pun terus dipasang. Kehendak dirangsang secara maksimal. Usaha kecil tetapi strategis dilaksanakan hingga mencapai hasil yang hebat.
Tekad untuk terus mencoba dan mengulang (meski gagal), yang menjadi bagian dari kesuksesan tokoh NTT, mengingatkan kita pada teori Ivan Petrovich Pavlov (1849- 1936). Dalam teorinya tentang reflejo condicionado’, ia menganalogikan air liur’ pada hewan yang secara refleksi merangsang kerja perut untuk memulai pencernaan.
Secara pedagogis-edukatif, kesuksesan orang NTT, air liur’ adalah kekuatan internal yang muncul karena terus diulang-ulang. Rangsangan positif diciptakan hingga akhirnya menjadikannya potensial untuk melakukan hal-hal besar di tengah kemustahilan geografis dan ketidakberdayaan ekonomi. Tekad itulah yang menjadikannya berhasil.
Kolong Pohong
Mengapa kebehasilan orang NTT itu tidak menyebar, malah kian memudar? Mengapa prestasi pendidikan yang doeloe’ dibanggakan itu kini begitu menurun hingga menempati urutan terhina di negeri ini? Kalau kita percaya pada teori refleks terkondisi’, maka patut kita akui, keterpurukan adalah buah dari asosiasi yang keliru.
Jelasnya, mentalitas orang NTT tidak lagi dipacu untuk melakukan sesuatu yang terpuji dan membanggakan, melainkan sekadar mengibuli otak untuk berpuas diri dengan apa yang dicapai. Lebih tragis lagi, kisah manipulatif itu berkembang begitu jauh hingga (tanpa disadari), ia membanggakan kelicikannya.
Kisah manipulatif ini tidak kebetulan. Di beberapa daerah di NTT (Flores Timur dan Lembata), kebanggaan itu terpateri dalam kisah si Kolong Pohong’, tokoh yang pandai berbohong. Segala kelicikan digunakan, asal saja tercapai keinginannya. Terkadang ia tertawa bahagia menyaksikan orang yang benar yang mestinya menang, ternyata sukses’ ditipu oleh si Kolong Pohong’.
Ekspresi dari hal ini cukup nyata. NTT hingga kini menjadi bagai surga untuk korupsi. Tidak banyak pejabat NTT yang bisa dijerat. Entah karena mereka tidak sama sekali melakukannya, atau tabiat kolong pohong’ telah begitu hebat sehingga setiap jebakan begitu mudah dilewati?
Mentalitas itu (tanpa disadari) telah masuk hingga turut mempengaruhi proses pendidikan. Pengangkatan guru, promosi kepala sekolah hingga kepala dinas, bukan lagi didasarkan oleh prinsip profesionalitas, melainkan kecerdikan kolong pohong’. Bagi yang sealiran’, berjasa menyukseskan seseorang menjadi kepala daerah’ akan diberikan imbalan’. Proses pendidikan pun tidak jauh dari itu. Tidak sedikit sekolah dikelola apa adanya’. Pendidikan dilaksanakan tanpa beban dan tanggung jawab. Sembonyan: tidur saja dibiayai’ terlampau dominan dalam diri guru pegawai negeri yang merasa, tanpa mengajar pun ia terus menerima gaji. Pengawasan prosedural pun melemah karena pejabat yang lebih tinggi pun keteladanannya jauh untuk dicontohi.
Bangun tekad
Penyakit kronis dan mentalitas yang sudah jauh tertanam tidak bisa secara kilat diubah. Tapi, hal itu tidak berarti mustahil. Pada tempat pertama, butuh tekad. Petinggi NTT mesti sadar, pendidikan adalah soal masa depan. Ia tidak bisa dipolitisir. Rekrutmen guru (pegawai negeri), pengangkatan kepala sekolah, promosi jabatan menjadi Kepala Dinas Pendidikan, bukan urusan politik. Sebaliknya, ketika proses itu dinodai manipulasi politis, akan menghadirkan out put pendidikan seperti yang sekarang ini.
Tekad dalam konteks ini adalah kehendak untuk memberikan reward’ yang pantas untuk guru yang berprestasi dan secara tegas memberikan punishment’ hingga pemecatan pegawai yang tidak secara kualitatif mengadakan pembaharuan. Dalam kenyataan, penghargaan’ yang diberikan bukan karena prestasi tetapi lebih pada sentimen pribadi. Hukuman’ sementara itu terkadang sulit diterapkan karena bahkan pejabat yang berada di atasnya tidak punya kekuatan moral untuk bisa menghukum orang lain lantaran teladannya pun tidak terlalu cemerlang.
Tekad seperti ini bisa saja dianggap sulit. Dalam kenyataannya, masyarakat NTT terkendala dengan kekuatan kolektifnya untuk mengadakan pembaharuan. Saat pemerintah gagal, mereka secara kolektif membangun kesadaran. Sayangnya, kekuatan ini masih bersifat sporadis. Pada beberapa daerah, kekuatan itu bahkan terfriksi oleh pengkotakan masa lalu yang selalu memandang orang lain sebagai musuh dan bukannya rekan yang bisa diajak bekerja sama.
Yang mesti dilakukan adalah sebuah tekad yang lebih menyeluruh. Masyarakat sebagai kekuatan penentu, perlahan mulai membangun kesadaran tentang perubahan yang ada padanya. Ia akan sangat selektif dalam memilih pemimpinnya. Ia tahu, mereka yang cukup royal’ dalam kampanye, begitu bermulut manis’ akan berbalik menjadi pemangsa. Ia akan membidik tokoh bersih, entah lewat jalur independen atau parpol. Ia tahu, hanya dengan demikian, (N)asibnya yang (T)idak (T)entu, menjadi lebih baik. *
Pemerhati pendidikan, tinggal di Jakarta
Sumber : Pos Kupang, Kamis, 20 Mei 2010
Saya hanya bisa terdiam. Tidak tahu, apakah pernyataan itu diungkapkan secara ikhlas atau sekadar basa-basi karena berharap masih ada sepatu yang bisa dijahit. Tetapi hidungku sempat kembang-kempis’ sambil berkata dalam hati: "moga-moga, ia tidak tahu hasil UN SMA dan SMP tahun 2010 di NTT. Saya pun yang termakan oleh pujian, merasa risih memberitahukan hasilnya.
Mengibuli otak
Ungkapan yang menyanjung, tentu bukan kali ini saja terdengar. Kehebatan putera-puteri terbaik NTT yang pernah menghiasi peta sosial politik Indonesia sudah bukan rahasia lagi. Ada Gorys Keraf, pakar linguistik, Adrianus Mooy, pakar ekonomi perbankan, Frans Seda, tokoh gigih, sekadar menyebut tiga contoh.
Pertanyaannya: mengapa dari daerah yang tandus, kering kerontang seperti NTT itu bisa lahir tokoh sekaliber itu? Apakah mereka memang 'dari sononya' cerdas? Yang pasti, tidak ada orang yang terlahir sebagai genius. Si Alva Edison sendiri mengatakan secara jelas: Genius is one percent inspiration, ninety-nine percent perspiration. Sembilan puluh sembilan persen adalah usaha sementara keterberian’ hanya 1 %.
Kalau demikian, keberhasilan itu dicapai karena sukses memanipulasi pikiran’. Artinya, pikiran secara terus menerus diarahkan untuk (bisa) melakukan hal-hal yang besar. Mereka mengulang dalam diri kemauan positif. Tekad pun terus dipasang. Kehendak dirangsang secara maksimal. Usaha kecil tetapi strategis dilaksanakan hingga mencapai hasil yang hebat.
Tekad untuk terus mencoba dan mengulang (meski gagal), yang menjadi bagian dari kesuksesan tokoh NTT, mengingatkan kita pada teori Ivan Petrovich Pavlov (1849- 1936). Dalam teorinya tentang reflejo condicionado’, ia menganalogikan air liur’ pada hewan yang secara refleksi merangsang kerja perut untuk memulai pencernaan.
Secara pedagogis-edukatif, kesuksesan orang NTT, air liur’ adalah kekuatan internal yang muncul karena terus diulang-ulang. Rangsangan positif diciptakan hingga akhirnya menjadikannya potensial untuk melakukan hal-hal besar di tengah kemustahilan geografis dan ketidakberdayaan ekonomi. Tekad itulah yang menjadikannya berhasil.
Kolong Pohong
Mengapa kebehasilan orang NTT itu tidak menyebar, malah kian memudar? Mengapa prestasi pendidikan yang doeloe’ dibanggakan itu kini begitu menurun hingga menempati urutan terhina di negeri ini? Kalau kita percaya pada teori refleks terkondisi’, maka patut kita akui, keterpurukan adalah buah dari asosiasi yang keliru.
Jelasnya, mentalitas orang NTT tidak lagi dipacu untuk melakukan sesuatu yang terpuji dan membanggakan, melainkan sekadar mengibuli otak untuk berpuas diri dengan apa yang dicapai. Lebih tragis lagi, kisah manipulatif itu berkembang begitu jauh hingga (tanpa disadari), ia membanggakan kelicikannya.
Kisah manipulatif ini tidak kebetulan. Di beberapa daerah di NTT (Flores Timur dan Lembata), kebanggaan itu terpateri dalam kisah si Kolong Pohong’, tokoh yang pandai berbohong. Segala kelicikan digunakan, asal saja tercapai keinginannya. Terkadang ia tertawa bahagia menyaksikan orang yang benar yang mestinya menang, ternyata sukses’ ditipu oleh si Kolong Pohong’.
Ekspresi dari hal ini cukup nyata. NTT hingga kini menjadi bagai surga untuk korupsi. Tidak banyak pejabat NTT yang bisa dijerat. Entah karena mereka tidak sama sekali melakukannya, atau tabiat kolong pohong’ telah begitu hebat sehingga setiap jebakan begitu mudah dilewati?
Mentalitas itu (tanpa disadari) telah masuk hingga turut mempengaruhi proses pendidikan. Pengangkatan guru, promosi kepala sekolah hingga kepala dinas, bukan lagi didasarkan oleh prinsip profesionalitas, melainkan kecerdikan kolong pohong’. Bagi yang sealiran’, berjasa menyukseskan seseorang menjadi kepala daerah’ akan diberikan imbalan’. Proses pendidikan pun tidak jauh dari itu. Tidak sedikit sekolah dikelola apa adanya’. Pendidikan dilaksanakan tanpa beban dan tanggung jawab. Sembonyan: tidur saja dibiayai’ terlampau dominan dalam diri guru pegawai negeri yang merasa, tanpa mengajar pun ia terus menerima gaji. Pengawasan prosedural pun melemah karena pejabat yang lebih tinggi pun keteladanannya jauh untuk dicontohi.
Bangun tekad
Penyakit kronis dan mentalitas yang sudah jauh tertanam tidak bisa secara kilat diubah. Tapi, hal itu tidak berarti mustahil. Pada tempat pertama, butuh tekad. Petinggi NTT mesti sadar, pendidikan adalah soal masa depan. Ia tidak bisa dipolitisir. Rekrutmen guru (pegawai negeri), pengangkatan kepala sekolah, promosi jabatan menjadi Kepala Dinas Pendidikan, bukan urusan politik. Sebaliknya, ketika proses itu dinodai manipulasi politis, akan menghadirkan out put pendidikan seperti yang sekarang ini.
Tekad dalam konteks ini adalah kehendak untuk memberikan reward’ yang pantas untuk guru yang berprestasi dan secara tegas memberikan punishment’ hingga pemecatan pegawai yang tidak secara kualitatif mengadakan pembaharuan. Dalam kenyataan, penghargaan’ yang diberikan bukan karena prestasi tetapi lebih pada sentimen pribadi. Hukuman’ sementara itu terkadang sulit diterapkan karena bahkan pejabat yang berada di atasnya tidak punya kekuatan moral untuk bisa menghukum orang lain lantaran teladannya pun tidak terlalu cemerlang.
Tekad seperti ini bisa saja dianggap sulit. Dalam kenyataannya, masyarakat NTT terkendala dengan kekuatan kolektifnya untuk mengadakan pembaharuan. Saat pemerintah gagal, mereka secara kolektif membangun kesadaran. Sayangnya, kekuatan ini masih bersifat sporadis. Pada beberapa daerah, kekuatan itu bahkan terfriksi oleh pengkotakan masa lalu yang selalu memandang orang lain sebagai musuh dan bukannya rekan yang bisa diajak bekerja sama.
Yang mesti dilakukan adalah sebuah tekad yang lebih menyeluruh. Masyarakat sebagai kekuatan penentu, perlahan mulai membangun kesadaran tentang perubahan yang ada padanya. Ia akan sangat selektif dalam memilih pemimpinnya. Ia tahu, mereka yang cukup royal’ dalam kampanye, begitu bermulut manis’ akan berbalik menjadi pemangsa. Ia akan membidik tokoh bersih, entah lewat jalur independen atau parpol. Ia tahu, hanya dengan demikian, (N)asibnya yang (T)idak (T)entu, menjadi lebih baik. *
Pemerhati pendidikan, tinggal di Jakarta
SIAPAKAH ORANG NAGI-LARANTUKA ITU?
Oleh : Johan Suban Tukan
Apakah manusia Nagi sangat berbeda dari manusia lain? Bukankah lebih banyak kesamaannya? Lalu atas dasar apakah orang itu disebut orang Nagi? Apakah karena faktor sejarah? Karena faktor budaya? Karena faktor geografis? Karena memiliki filsafat hidup yang khas? Faktor agama? Ataukah memang pada dasarnya manusia itu unik, setiap manusia memang khas dan berbeda dari yang lain? Bukankah dua anak kembar pun masih berbeda? Tetapi mengapa orang berbicara tentang manusia Timur, manusia Indonesia, Manusia NTT, Manusia Flores?
Orang Nagi adalah MANUSIA. Sama seperti orang-orang lain, orang nagi adalah manusia, seorang manusia berakal budi. Orang nagi adalah animal rationale, untuk membedakan dirinya dengan dari seeokor binatang. Manusia Nagi menghayati dan memahami dirinya sebagai sebuah “misteri” dan oleh karena itu kita tidak bisa mempersoalkan dia hanya sebagai “problem”. Manusia nagi tidak bisa ditelusuri dari suatu kenyataan faktis semata-mata, seperti cendrung dilakukan oleh ilmu-ilmu empiris. Manusia nagi tidak hanya memiliki naluri seksual, tidak hanya memiliki naluri ekonomi, dan tidak hanya memiliki kehendak untuk berkuasa. Dalam diri manusia nagi ada kebebasan, cinta kasih dan kecemasan. Manusia Nagi lahir, hidup bersama dengan sesama dan akhirnya menghadapi kematian juga. Hanya manusia (nagi) dapat berbicara, berbadan dan berjiwa, mempunyai pengetahuan, dilengkapi dengan efektifitas, dapat mengerti dan memiliki kehendak yang bebas. Manusia Nagi adalah makhluk individual dan sosial.
Manusia Nagi tidak saja membutuhkan makan dan minum, sandang dan pangan, tetapi ia juga memerlukan kehangatan dan keakraban dalam pergaulan dengan sesama. Manusia Nagi bukan hanya sebuah robot yang berjalan secara otomatis, tetapi ia adalah seorang pribadi yang memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan dengan penuh tanggungjawab. Manusia adalah seorang pribadi yang tak pernah boleh diperlakukan sebagai benda, sebagai sarana. Manusia memiliki tujuan dalam dirinya. Manusia Nagi berusaha menyempurnakan dirinya dalam suatu proses budaya yang human. Manusia hanya dapat hidup sebagai manusia justru dalam suatu dunia manusia.
Orang Nagi adalah manusia Timur untuk membedakan (bukan memisahkan) ciri khas dirinya dari manusia barat. Manusia Timur sangat dipengaruhi oleh filsafat India, Budha dan China. Manusia Timur berpikir emosional, intuitif, mistis magis dan berfilsafat untuk mencapai kebijaksanaan hidup. Pribadi manusia Timur harus dipahami dalam kebersamaan. Sangat ditekankan sikap kompromi dan musyawarah karena dapat menciptakan kerukunan hidup. Pribadi manusia tenggelam dalam kebersamaan sosial. Sangat ditekankan hidup bersatu, saling tolong menolong dan gotong royong. Unsur terpenting dalam hidup manusia adalah ikatan kekeluargaan, kekerabatan, kenalan, tetangga dan suku.
Orang nagi adalah Manusia Indonesia. Salah satu ciri khas cara hidup orang Indonesia yang cukup menonjol gotong royong. “Ringan sama dijinjing berat sama dipikul.” Orang saling tolong menolong ketika kematian, perkawinan, membuka ladang, membangun rumah, dll. Manusia Indonesia sadar bahwa ia tidak tinggal sendirian di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh semesta dan masyarakat. Manusia saling tergantung satu sama lain. Manusia Indonesia sedapat mungkin untuk hidup serasi dan selaras didorong oleh perasaan sama tinggi sama rendah.
Sementara kitapun diingatkan dengan beberapa kecendrungan negative dari manusia Indonesia yang rupanya cukup menghambat proses pembangunan seperti : mentalitas yang meremehkan mutu, mentalitas suka menerabas (bernafsu untuk mencapai tujuan secepat-sepatnya tanpa kesediaan untuk berusaha selangkah demi selangkah); sifat tak percaya diri; tidak disiplin, dan mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab. Orang Indonesia cendrung membanggakan kejayaan masa lampau dan kurang berorientasi ke masa depan. Banyak orang Indonesia lebih merasa bangga bekerja sebagai pegawai negeri, dan bertingkah laku seperti priyayi. Mereka cendrung kurang mengharagai pekerjaan kasar. Mentalitas colonial masih dibawa terus. Lepas dari penjajahan Belanda dan Jepang, terkesan orang Indonesia menjajah orangnya sendiri. Birokrat bukannya pelayan masyarakat malahan menjadi tuan besar di daerahnya sendiri. Orang Indonesia masih kuat memiliki rasa ketergantungan pada tokoh atasan dan yang berpangkat.
Untuk dapat membangun , orang Indonesia harus memilki sikap aktif, bukan sikap pasif dan fatalistis. Orang harus berkeinginan menguasai alam dunia serta kaidah-kaidahnya tanpa merusak lingkungan hidup. Manusia Indonesia harus berorientasi ke masa depan. Untuk dapat berhasil, orang Indonesia harus mampu bekerja sama satu sama lain tanpa meremehkan kualitas individual dan tanpa menghindari tangjawab sendiri (Koentjaraningrat, Kebudayaan, mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1984)
Orang Nagi adalah manusia Nusa Tenggara Timur.
Kepribadian orang NTT tidak lepas dari tiga akar budaya yang melilitnya, yaitu akar Melayu, Portugis dan Belanda. Akar Melayu dapat dilihat dari unsur keserasian, keselarasan, kekeluargaan, kolektifismenya pun sangat kuat. Kerukunan merupakan ungkapan lahiriah. Daripada ribut lebih baik mengalah. Rukun selalu diusahkan agar terhindar dari konflik. Mereka pun selalu bermusawarah baik itu dalam keluarga sendiri, dalam suku dan dalam desa. Mereka juga saling tolong-menolong (bergotong royong). Dan dalam soal urusan adat, selalu diperhatikan hak anak sulung laki-laki yang diturun-temurunkan.
Kebudayaan merupakan sarana komunikasi bangsa Portugis dengan masyarakat setempat. Kabar gembira Yesus Kristus yang dibawa oleh orang Portugis tidaklah terlepas dari budaya mereka sendiri. Karena itu, perwujudan iman gereja zaman itu tidaklah terlepas dari budaya Portugis. Budaya Portugis dilatarbelakangi oleh budaya laut Tengah dimana lebih banyak menggunakan “HATI” . Sehingga dalam pengungkapan iman melalui ibadah, peran emosi sangat menonjol. Disini usur individu mulai menonjol.
Tidak sedikit orang NTT menggunakan nama portugis. Nama menunjukkan bahwa dalam sejarah ada pertalian batin antara orang NTT dengan orang Portugis. Di NTT menonjol karya-karya yang banyak menggunakan “hati”. Dalam hubungan dengan Tuhan, tidak terlepas ungkapan-ungkapan iman yang “irasional” dalam wujud devosi-devosi. Dengan demikian, nilai-nilai rohani lebih banyak ditekankan daripada nilai-nilai jasmani, sehingga ada dikotomi pandangan tentang hidup ini.
Belanda membawa budaya tertentu dalam menjajah orang di NTT. Kekuatan cultural Belanda namak dalam penekanan pada individu dengan hak-haknya. Masyarakat menjadi norma hidup yang kedua, yang terpenting AKU dengan kreativitas dan karya-karya yang efisien, produktif. Dalam bermasyarakat, etika Belanda bias Nampak dalam kekuatan-kekuatan individu yang mungkin “liberal”. Dalam arti ini, kepentingan pribadi mengatasi kepentingan umum.
Secara kultural, orang NTT itu tidak kuat karena budaya setempat itu didukung oleh satu massa manusia yang terlalu kecil. Dimana nilai-nilai budaya tak mengakar dan massa pendukungnya terlalu kecil, kita hanya hitung waktu saja bahwa budaya NTT mungkin akan lenyap dari persada ini. Dengan masuknya budaya dari luar dibarengi dengan tak ada pembinaan budaya setempat membuat orang NTT itu akan sangat tergantung pada budaya pinjaman. Turisme sebagai satu industry yang berkembang pesat akhir-akhir ini di NTT sudah merupakan satu pukulan budaya yang membuat kita terhempas dan terpental. (baca tulisan Ben Mboi dan Dr. Alex Paat Pr, dalam Buleting LK3I KWI, Mei-Juni 1992)
Orang Nagi adalah manusia Flores. Kebanyakan orang Flores bekerja sebagai petani. Mereka hidup dalam desa dekat dengan ladangnya. Mereka diikat oleh pengelolahan tanah bersama dan menjalin kekerabatan bersama. Mereka harus bekerja sama secara tetap agar dapat hidup dari hasil pertaniannya. Seorang petani harus menunggu hasil panen dengan sabar. Ia hidup dalam keadaan musim yang kurang pasti: bisa terjadi kemarau yang berkepanjangan, bisa terjadi curah hujan yang kurang, bias terjadi hama yang menggagalkan panen. Dengan alat pertanian yang sederhana ia harus berjuang.
Desa dihayati sebagai mikrokosmos, merupakan dunia kecil dari dunia yang lebih luas makrokosmos. Desa adalah tempat yang aman bagi para warganya. Orang merasa sangat terikat pada desanya. Sungguh dipentingkan kekeluargaan. Kepentingan umum mendahului kepentingan pribadi. Adat mengikat semua orang. Orang harus taat pada adat dan jika terjadi pelanggaran maka harus dibayar silih. Perasaan malu terasa sangat kuat. Ia harus terlibat dalam urusan perkawinan dan kematian. Ia menyiapkan kambing, babi, dan sarung untuk dibawa sebagai sumbangan dalam urusan adat.
Khususnya pada masyarakat Lamaholot, dalam perkawinan dikenal dengan adanya Suku opu lake (Suku yang menyerahkan wanita dan menerima belis), dan suku Opu Bine ( suku yang menyiapkan pria , member belis dan menerima gadis. Masyarakat Lamaholot mengenal system perkawinan Lika Telo. Suku “A” menjadi Opu Lake suku “B”. Suku “B” menjadi Opu Lake suku “C”. Suku “C” menjadi Opulake Suku “A”. Dan belis yang berupa gading berpindah tangan dari satu suku ke suku lain dalam lingkaran itu. (Y. Boelaars, Kepribadian Indonesia Modern, Suatu Penelitian Antropologi Budaya, Gramedia, Jakarta, 1984 dan Bernard Tukan, Keluarga Lamaholot, 1985).
Nah, orang Nagi Larantuka adalah manusia, adalah manusia Timur, adalah Manusia Indonesia, adalah ManusiaNTT, adalah manusia Flores, adalah manusia Lamaholot.
(Sumber dan Keterangan : ARTIKEL ini diringkas dari Buku “ Orang Nagi-Larantuka –Flores Timur : Sebuah Dialog Budaya hari Ini” , Penulis : Johan Suban Tukan ; Penerbit : YPPM, Jakarta 2001)
MUSIK TROMPET FANFARE.
Pada tahun 1950-an dua bruder misionaris SVD berkebangsaan Belanda dan Jerman, Br. Conradus, SVD dan Br. Stanislaus, SVD mulai merintis sebuah sekolah pertukangan bagian kayu dan besi di Keuskupan Larantuka dengan nama AMBACHSCHOOL yang selanjutnya dikenal dengan nama PETUKANGAN ST. YUSUF LARANTUKA. Sejalan dengan tugas pokok yakni mentrampilkan para karyawan dalam bidang bangunan besi dan kayu, kedua bruder tersebut membina juga bakat mereka dibidang musik khususnya Musik TROMPET yang disebut Musik FANFARE.
Setelah menjalani masa latihan yang membutuhkan ketekunan dan disiplin ketat ala barat dalam meniup trompet dengan lagu-lagu yang ditulis dalam not balok, berhasil direkrut sekitar 45 anggota musisi trompet yang dalam kesatuannya disebut Group MUSIK FANFARE ST. CAECILIA KEUSKUPAN LARANTUKA.
Penampilan mereka sangat prima dalam event-event penting gerejani misalnya menampilkan lagu-lagu Natal, dan juga memeriahkan hari-hari besar Nasional Kenegaraan misalnya Upacara Bendera 17 Agustus di Ibukota Kabupaten Flores Timur. Kehadirannya membawa kegembiraaNamun dalam perjalanannya terjadi perubahan situasi ketika dua bruder pendamping dimutasikan ke tempat lain. Terjadi pasang surut kegiatan, bahkan nyaris hilang dalam penampilannya. Pihak Keuskupan menunjuk Matheus Weruin untuk mendampingi Group FANFARE yang dalam perjalanan selanjutnya muncul kembali dalam memeriahkan pesta Tahbisan Uskup Baru Larantuka Mgr. Darius Nggawa,SVD pada tahun 1974. Lalu sesudahnya karena beberapa kendala, Group FANFARE mulai menghilang dari pentas.
Rabu, 26 Agustus 2009
Bara Kagum Menjadi Api : Memaknai Pemulangan Kerangka Jenazah Almarhum Mgr. Gabriel Manek, SVD
Judul Buku : Bara Kagum Menjadi Api : Memaknai Pemulangan Kerangka Jenazah Almarhum Mgr. Gabriel Manek, SVD
Penulis : Bernard Tukan
Penerbit : Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Larantuka, 2006
Buku ini merupakan apresiasi terhadap almarhum Mgr. Gabriel Manek, SVD sebagai Uskup Larantuka pertama dan Pendiri Kongregasi Putri Reinha Rosari. Karena itu penulisan buku ini terutama ditujukan kepaa umat Keuskupan Larantuka dan para suster Kongregasi PRR, untuk mempersiapkan diri dalam penyambutan kepulangan kerangka jenazah Mgr. Gabriel Manek, SVD.
Dengan demikian, buku ini dapat dijadikan bahan perbincangan dalam pertemuan umat Komunitas Basis Gerejani (KGB), Komunitas Sekolah, Biara dan pertemuan kelompok lainnya. Lebih dari itu buku ini juga dapat menjadi bacaan siapa saja yang hendak belajar dari seorang tokoh pendahulunya.
Langganan:
Postingan (Atom)